7 Tempat Peninggalan Sejarah di Banda Aceh Yang Di Kenal Dunia
- July 11, 2017
- By Hendra Purnama
- 0 Comments
Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh
Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra
Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung
Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan
Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan
bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun
pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang
dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan
Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.
Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang
terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle
yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati
(Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga
(kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama
Kandang Aceh. Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud
Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan
nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo
Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman
pada tahun 691 H.
Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan
sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah
berusia 808 tahun (tahun 2013 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua
di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh
Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang
dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.
Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa
pemerintahan Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul
Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.
Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu
ketika golongan oposisi Kaum Wujudiyah menjadi kalap karena berusaha
merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan
membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan
bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.
Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu
pecah Perang Saudara antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya,
peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya,
Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat
terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan
dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang
bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh
Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di
Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda
dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh
Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh
Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada
Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil
menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah
proklamasinya yang berbunyi :
Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja,
yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit
yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh
Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai
lambang dari Kolonialisme.
Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para
tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan
bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah
berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
dari sisa puing sejarah tersebut setidaknya ada 7 saksi Bisu kehebatan Kota Banda Aceh zaman Dahulu yaitu
Mesjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid
yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid
Kesultanan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873,
masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah
masjid sebagai penggantinya.
Gunongan
Kalau di India ada Taj Mahal yang menjadi bukti cinta Sultan Shah
Jehan untuk istrinya Mumtaz Mahal yang meninggal ketika melahirkan anak
ke-14 mereka. Indonesia pun tak kalah loh travelers. Ada salah satu
sultan yang begitu jatuh cinta dengan istrinya hingga ia membangun
sebuah taman yang indah, yang dikenal dengan nama Gunongan untuk
istrinya bersantai.
Kisah ini ada di kota Serambi Mekah, Aceh, yakni cinta antara Sultan Iskandar Muda kepada sang permaisuri, Putri Kamaliah atau yang juga dikenal dengan nama Putroe Phang dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Sejak penaklukan Kerajaan Pahang, sang sultan pun dengan segera memboyong sang putri ke Aceh untuk dijadikan istri. Pembangunan Gunongan ini bahkan lebih dahulu dibandingkan dengan pembangunan Taj Mahal. Jadi kalau ngaku cinta Indonesia mending eksplore dulu deh negeri sendiri baru setelah itu nyebrang ke negeri orang.
Dalam ceritanya disebutkan bahwa Putroe Phang atau Putri Pahang merasa rindu dengan tanah kelahirannya setelah tinggal di Aceh.
Untuk menghibur sang permaisuri maka sang sultan yang berkuasa sejak tahun 1607-1636 itu pun mengabulkan permintaan istrinya untuk dibuatkan bangunan yang megah dan indah yang menyerupai bukit-bukit yang ada di tanah Pahang.
Bangunan ini pun disebut dengan Gunongan yang diambil dari Bahasa Aceh yang berarti gunung. Lokasi Gunongan berada di belakang kompleks Kesultanan Darud Donya sehingga kala sang sultan sibuk dengan urusan pemerintahan sang permaisuri bisa menghibur diri di Gunongan sekaligus mengobati kerinduannya akan tanah kelahirannya.
Gunongan ini sendiri terdiri atas tiga tingat dan tingginya mencapai 9,5 meter. Di atas puncaknya terdapat bangunan yang menyerupai bentuk bunga yang sedang mekar. Kabarnya puncak ini merupakan lambang dari ketulusan cinta sang sultan untuk istrinya.
Sayangnya kini bangunan Gunongan sudah tak seperti dulu lagi. Selain karena faktor alam, bangunan ini juga rusak karena serangan Belanda pada masa itu.
Di dalam Gunongan dahulunya terdapat taman bernama Taman Ghairah dengan aliran air sungai Darul Asyiqi di dalamnya.
Ada pula kandang yang menjadi makam menantu Sultan Iskandar Muda, yakni Sultan Iskandar Tani. Juga ada tempat jamuan makan siang untuk raja, putri, orang istana, dan juga rakyat. Namun beberapa dari bangunan tersebut kini sudah tidak utuh lagi.
Untuk menjelajah pada masing-masing tingakat Gunongan terdapat tangga yang hanya bisa dilalui untuk satu orang. Sementara pada lorong-lorong bangunan berbentuk oktagonal tersebut dialasi dengan rerumputan. Dinding-dindingnya berbentuk kelopak bunga yang dihiasi dengan bunga pada bagian ujungnya. Dari atas Gunongan ini, travelers bisa menikmati pemandangan keseluruhan area Gunongan. Karenanya wajar jika tempat ini dahulunya menjadi favorit sang putri untuk bersantai.
Pintu masuk Gunongan memiliki bentuk seperti jangkar kapal sebagai perlambangan bahwa Sultan Iskandar Muda adalah seorang pelaut yang handal.
Pintu masuk ini dikenal dengan nama Pinto Tangkop yang memiliki bentuk lebih rendah sehingga untuk memasukinya harus menunduk. Hal ini memiliki filosofi tersendiri bahwa sebagai manusia harus memiliki rasa hormat dan merendah.
Tak jauh dari Gunongan, tepatnya di sisi kiri depan, terdapat undakan dengan cekungan di bagian tengahnya. Undakan dengan bentuk meyerupai kelopak bunga ini dihiasi dengan sejumlah ukiran. Di sini pula tempat penobatan sultan dilakukan. Gunongan bisa jadi hanya satu-satunya tempat yang tidak dibabat habis oleh Belanda kala menyerang Kesultanan Aceh Darussalam. Karena kabarnya tempat ini dahulunya digunakan oleh Belanda untuk bersenang-senang.
Mengunjungi Gunongan, travelers tidak hanya bisa menyaksikan kesucian cinta sultan namun juga bisa belajar sejarah sekaligus belajar ilmu-ilmu tentang kehidupan, kesetiaan, cinta yang tulus, dan juga kekuasaan serta keserakahan.
Untuk senantiasa menjaga bangunan Gunongan tetap berwarna putih bersih, setiap bulan Juli ada tradisi untuk mengecat bangunan ini sehingga tetap terawat dengan baik sebagaimana cinta Sultan Iskandar yang begitu terawat terhadap permaisurinya, Putri Pahang.
Lonceng Cakra Donya
Lonceng Cakra Donya adalah benda bersejarah yang kini merupakan salah
satu koleksi Museum Aceh. Lonceng Cakra Donya yang tergantung di pintu
masuk Museum Aceh, merupakan simbol persahabatan antara kerjaaan China
dan kerjaan Aceh. Menurut sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan
China melalui Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh.
Lonceng yang berbentuk stupa buatan China 1409 M dengan lebar 75 cm dan
tinggi 125. Di bagian luar lonceng ini terukir hiasan dan tulisan Arab
dan China. Cakra yang berarti poros kereta, sedangkan Donya mempunyai
arti dunia.
Lonceng ini pernah digunakan dalam kapal perang kesultanan Aceh masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Kapal tersebut bernama Cakra Donya, yang mampu menampung 800 prajurit.
Cakra Donya ditempatkan pada bagian buritan depan kapal. Lonceng ini
dipergunakan untuk memberi aba-aba dalam perang. Karena kagum dengan
kekuatan armada perang Aceh, Portugis menyebut kapal Cakra Donya sebagai
Espanto Del Mundo yang artinya Teror Dunia.Lonceng yang terkenal di Aceh ini sekarang diletakan di Museum Aceh.
Lonceng Cakra Donya ini merupakan benda sejarah kebanggaan orang Aceh
hingga saat ini. Lonceng ini juga merupakan simbol dan bukti hubungan
bersejarah antara Aceh dan China sejak abad ke-15.
Kherkoff Peucut
Kerkhoff, Komplek Pemakaman Militer Belanda Terbesar di Luar Belanda
Mengunjungi Aceh berarti mengunjungi salah satu wilayah dengan sejarah panjang di semenanjung Malaka dan peranan penting dalam catatan sejarah sejarah dunia. Perang Aceh yang berlangsung dari 1873 hingga 1904 adalah salah perang dengan biaya terbesar dalam catatan sejarah Kolonialisme.
Mesjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu saksi sejarah aksi tembak runduk/tembak jitu (sniper) generasi awal yang tercatat dalam dokumen sejarah dunia. Jenderal GP Booms dalam buku De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete mencatat bahwa pimpinan ekspedisi Belanda, Mayor Jenderal Johan Harmen Rudulf Kohler tewas di tangan penembak jitu Aceh.
Bukan hanya Mayjen Kohler tentara Belanda yang gugur di Aceh. Tak terlalu jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman, terdapat satu area pemakaman yang bersejarah. Saksi bisu dahsyatnya peperangan di Aceh. Kerkhoff Peucut.
Sekitar 2.200 tentara Belanda, termasuk empat orang jenderal dimakamkan di sini. Kenangan pahit kekalahan Belanda. Mungkin ini setara dengan pahitnya kekalahan Belanda menghadapi Napoleon.
Komplek pemakaman militer Kerkhoff ini adalah komplek pemakaman militer Belanda terbesar kedua di dunia. Tak ada komplek semacam ini milik militer Belanda di tempat lain. Satu-satunya yang lebih besar hanyalah yang terdapat di negeri Belanda.
Tidak sulit untuk menemukan Kerkhoff. Letaknya tepat di samping Museum Tsunami, berdekatan dengan Blang Padang, dan Mesjid Raya Baiturrahman.
Selain nilai sejarahnya, nisan-nisan kuno yang terdapat di Kerkhoff ini juga menjadi daya tarik arsitektur tersendiri. Motif dan disain yang bercorak khas membawa warna eropa di tanah Aceh. Tak hanya itu, hal menarik lainnya kawan, makam-makam itu juga menceritakan kisah penghuninya kepadamu. Jangan kau bayangkan cerita hantu kawan, tapi pada batu nisan makam, ada dituliskan secara singkat kisah hidup mereka yang dimakamkan disitu.
Masih ada satu hal menarik lagi. Terpisah dengan makam lainnya, ada satu makam yang berbeda. Nah, itu adalah makam Meurah Pupok. Ia bukan serdadu atau jenderal belanda. Ini adalah makam putra Sultan Iskandar Muda.
Kerkhoff tidak hanya bercerita hebatnya tentara aceh, tapi kerkhoff juga bercerita betapa adilnya sang raja, Getir cerita makam ini. Meurah Pupok, dihukum mati oleh ayahnya, sang Sultan. Bukan karena benci, namun menegakkan keadilan. Putra sultan ini terbukti melakukan zina dengan istri seorang perwira muda yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh. Meski pedih, tapi Sultan menjunjung keadilan. Hukuman diberikan sesuai aturan yang berlaku. Makam putra Sultan ini adalah simbol penegakan keadilan oleh seorang pemimpin.Sampai sekarang, komplek Kerkhoff ini masih ramai dikunjungi oleh turis asing, terutama dari belanda, Mungkin Mereka Mengunjungi Uwak atau Kakeknya yang di kubur di Aceh Ya 😀
Mengunjungi Aceh berarti mengunjungi salah satu wilayah dengan sejarah panjang di semenanjung Malaka dan peranan penting dalam catatan sejarah sejarah dunia. Perang Aceh yang berlangsung dari 1873 hingga 1904 adalah salah perang dengan biaya terbesar dalam catatan sejarah Kolonialisme.
Mesjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu saksi sejarah aksi tembak runduk/tembak jitu (sniper) generasi awal yang tercatat dalam dokumen sejarah dunia. Jenderal GP Booms dalam buku De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete mencatat bahwa pimpinan ekspedisi Belanda, Mayor Jenderal Johan Harmen Rudulf Kohler tewas di tangan penembak jitu Aceh.
Bukan hanya Mayjen Kohler tentara Belanda yang gugur di Aceh. Tak terlalu jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman, terdapat satu area pemakaman yang bersejarah. Saksi bisu dahsyatnya peperangan di Aceh. Kerkhoff Peucut.
Sekitar 2.200 tentara Belanda, termasuk empat orang jenderal dimakamkan di sini. Kenangan pahit kekalahan Belanda. Mungkin ini setara dengan pahitnya kekalahan Belanda menghadapi Napoleon.
Komplek pemakaman militer Kerkhoff ini adalah komplek pemakaman militer Belanda terbesar kedua di dunia. Tak ada komplek semacam ini milik militer Belanda di tempat lain. Satu-satunya yang lebih besar hanyalah yang terdapat di negeri Belanda.
Tidak sulit untuk menemukan Kerkhoff. Letaknya tepat di samping Museum Tsunami, berdekatan dengan Blang Padang, dan Mesjid Raya Baiturrahman.
Selain nilai sejarahnya, nisan-nisan kuno yang terdapat di Kerkhoff ini juga menjadi daya tarik arsitektur tersendiri. Motif dan disain yang bercorak khas membawa warna eropa di tanah Aceh. Tak hanya itu, hal menarik lainnya kawan, makam-makam itu juga menceritakan kisah penghuninya kepadamu. Jangan kau bayangkan cerita hantu kawan, tapi pada batu nisan makam, ada dituliskan secara singkat kisah hidup mereka yang dimakamkan disitu.
Masih ada satu hal menarik lagi. Terpisah dengan makam lainnya, ada satu makam yang berbeda. Nah, itu adalah makam Meurah Pupok. Ia bukan serdadu atau jenderal belanda. Ini adalah makam putra Sultan Iskandar Muda.
Kerkhoff tidak hanya bercerita hebatnya tentara aceh, tapi kerkhoff juga bercerita betapa adilnya sang raja, Getir cerita makam ini. Meurah Pupok, dihukum mati oleh ayahnya, sang Sultan. Bukan karena benci, namun menegakkan keadilan. Putra sultan ini terbukti melakukan zina dengan istri seorang perwira muda yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh. Meski pedih, tapi Sultan menjunjung keadilan. Hukuman diberikan sesuai aturan yang berlaku. Makam putra Sultan ini adalah simbol penegakan keadilan oleh seorang pemimpin.Sampai sekarang, komplek Kerkhoff ini masih ramai dikunjungi oleh turis asing, terutama dari belanda, Mungkin Mereka Mengunjungi Uwak atau Kakeknya yang di kubur di Aceh Ya 😀
Benteng Indra Patra
Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya
di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar terdapat
sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih berdiri kokoh. Sebuah
kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan tetap tegar walau
(bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini bernama BENTENG INDRA PATRA;
berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota propinsi Aceh, Banda
Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan bermotor.
Benteng ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu
oleh Raja Kerajaan Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu Pertama
di Aceh, tepatnya pada abad ke VII Masehi. Kala itu, benteng Indra
Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk membendung sekaligus membentengi
masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal
dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu, benteng ini juga dipakai
sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu.
Karena alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka
benteng ini dibangun di tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai
yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa
Islam di Aceh tiba. Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang
sangat terkenal dan disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana
wanita pertama di dunia), benteng ini juga dipergunakan sebagai benteng
pertahanan bagi Kerajaan Aceh Darussalam dari serangan musuh yang
datang dari arah laut.
Saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri
kokoh. Benteng Utama berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta
ketebalan dinding mencapai sekitar 2 meter. Arsitekturnya yang Unik,
Besar, terbuat dari “beton kapur” (: susunan batu
gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah Liat, dan
alusan Kulit Kerang, serta juga telur).
Didalam benteng Utama terdapat dua buah “stupa”
atau bangunan yang menyerupai kubah yang mana didalamnya / dibawah
kubah tersebut terdapat sumur / sumber air bersih, yang (pada saat itu)
dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri dalam rangkaian peribadahannya.
Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker untuk menyimpan meriam serta
bunker untuk menyimpan peluru dan senjata.
Benteng merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita
tersendiri. Di belakangnya ada kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan
heroism orang-orang di zamannya. Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang
terletak di Kecamatan Masjid Raya, jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari Banda
Aceh, menuju Pelabuhan Kr Raya.
Dari segi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng
perlahan-lahan akan dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar
benteng pun belum tentu tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.
Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh,
berarsitektur unik, terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang
tersisa hanya dua, itu pun pintu bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada
awalnya ada tiga bagian besar benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar
berukuran 70 x 70 meter dengan ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan
yang besar dan kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan
bangunannya terlihat begitu istimewa dan canggih, sesuai pada masanya karena
untuk mencapai bagian dalam benteng, harus dilalui dengan memanjat terlebih
dahulu.
Survei Benteng Indra Patra bukan saja mencatat fisik
bangunan tetapi juga mengumpulkan kisah-kisah sejarah seputar benteng. Tim
melakukan studi pustaka dan wawancara dengan masyarakat sekitar untuk menggali
cerita-cerita seputar Benteng Indra Patra. "Yang paling menarik dari
bangunan sejarah adalah cerita seputar situs tersebut, ini yang paling menarik
minat pengunjung" katanya.
Benteng Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan
Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh,
yaitu pada abad ke tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup
strategis karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi
sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan
Iskandar Muda, dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana
Malahayati, sebagai laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan
sebagai pertahanan kerajaan Aceh Darussalam.
Rumoh Aceh
- Asal-Usul
Bagian-bagian dari Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah disebut yubmoh yang dapat dipergunakan untuk menyimpan berbagai macam benda, seperti Jeungki (alat penumbuk padi) berandang (tempat menyimpan padi) dan juga difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak dan juga sering digunakan tempat ayunan anak-anak bayi.
- Ruangan depan atau disebut dengan seramoe Keu (serambi depan), ruangan ini polos tanpa kamar yang berfunsi sebagai ruang tamu laki-laki, ruang belajar mengaji anak laki-laki pada malam atau siang hari juga tempat tidur tamu laki-laki. dan disaat-saat tertentu seperti upacara perkawinan ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat jamuan makan bersama.
- Ruangan tengah atau seuramoe teungoh ini bagian inti dari rumoh Aceh dan sedikit lebih tinggi dari seramoe keu ini disebut rumoh inong (rumah induk) dan tempat ini dianggap suci karena bersifat sangat pribadi. Diruangan tengah ini terdapat dua bilik atau kamar yang berhadapan. Kedua kamar ini untuk tempat tidur kepala keluarga atau pemilik rumah, bila ada anak perempuan yang baru kawin maka dia akan menempati kamar ini dan orang tua akan pindah ke anjong.
- Ruangan Belakang atau disebut dengan seramoe Likoet (serambi belakang), ruangan ini juga polos tanpa kamar yang berfungsi sebagai ruang tamu perempuan,yang luasnya juga sama dengan seramoe keu ruangan ini untuk kaum perempuan juga digunakan untuk ruang belajar mengaji anak perempuan dan bila tamu yang datang perempuan maka tempat musyawarah ataupun tempat tidur para tamu juga tempat makan bersama untuk orang perempuan jadi di Aceh tamu laki-laki dan perempuan tidak disatukan
Di dalam Rumah Aceh Selalu ada beberapa motif hiasan yang dipakai antara lain:
- Motif atau ukiran-ukiran keagamaan yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
- Motif Flora seperti tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
- Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Keunikan Rumah Aceh
Keunikan rumah Aceh terletap pada atapnya, untuk pengikat tali hitam atau tali ijuk mempunyai yang untuk penahan atap yang diikat tidak bersambung mempunyai kegunaan yang sangat berati, misalnya saat terjadi musibah kebakaran pada bagian atap maka pemilik rumah hanya memotong satu tali saja sehingga seluruh atap rumah yang terhubung atau terpusat pada tali ijok langsung jatuh atau roboh jadi terhindar dari kebakaran kayu dan dapat meminimalisir dampk dari musibah yang terjadi. Pembanguna rumah Aceh harus menghadap utara dan selatan ini dimaksudkan agar sinar cahaya nmatahari mudah masuk kekamar baik yang berada disisi timur ataupun sisi barat, jika ada rumah Aceh yang menghadap kearah barat atau timur maka akan mudah roboh karena menentang arah angin. Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.Sumber Masyarakat Aceh,pemandu Museum Aceh
Pesawat Seulawah Agam
PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu
singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri
yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal
pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format
kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif
dan partisipatif daerah dituntut lebih.
Lantaran sedang merancang dan mencoba
bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat
bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T
Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan
beberapa wilayah lain.
Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam
keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur
dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan
Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh
juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh–Gubernur Militer
Aceh, Langkat dan Tanah Karo–dalam format provinsi.
Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan
ditaati rakyat–alasan klasik, karena karismanya–di sebelah selatan
Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam,
kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen
masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan
rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku
sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun
kemerdekaan RI, Agustus 1949.
Seulawah (Indonesian Airways) |
Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan
republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh
Hotel–sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di
pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf
internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan “angker”,
yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman
akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di
Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh
Pemkot Banda Aceh, atau oleh “preman gampong” sekitar.
Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu,
berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya,
Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik–usai shalat dua
rakaat–juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat
Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya
Baiturrahman.
Kalau dua pertiga abad yang lalu,
ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun
yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa
orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September
enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam
hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan “sayap-sayap
Seulawah NAD” untuk “mengepak” kembali. Ini juga sebait nostalgia indah
yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam
kembali, karena “sayap Seulawah” patah lagi, patah pate, bersama
kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas
kegelapan.
Terus, dari lobi Hotel Aceh yang
melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian
Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh–Tgk Mansoer
Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh–yang sempat melihat langkah dan
air mata Soekarno merekam untuk kita. “Terakhir ia menumpahkan air mata
buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama,” kenang Abu
Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan
pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung
dengannya.
Dan ternyata proyek Seulawah
RI-001–cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang–itu cuma satu
yang dapat terbeli. “Satu unit lagi entah di mana rimbanya,” gugat Abu
Mansoer agak sesal, pada “cucu”nya itu.
Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu,
antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan
Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi
negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA
kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga
sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.
Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan
itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban
dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua
GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir
dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima
Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden
yang pertama RI itupun mau makan–maaf, kayak anak-anak yang
diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.
Belakangan GASIDA membentuk suatu
panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan
pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua
pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas
nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu
Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta
Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer),
Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur
militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.
Garuda Indonesia (Kini) |
Kedua pesawat yang dibeli dengan uang
rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute
semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal
siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen
lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat
Aceh. Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang
dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta
waktu itu.
Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh
berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI
(Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you.
Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada
Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima
sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke
Sumatera Barat itu. Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal
Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe
(Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem
sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN
“kap igoe”, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual
sahamnya.
Akhirnya, hari ini, kita mengharap
itikad baik manajemen Garuda untuk–mengutip kata-kata Bung Karno–jangan
sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan
geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada “kakakmu”
Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang “melahirkanmu”. Hari ini, sambil
mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa
dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat repliknya di Blang
Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali; setelah Seulawah
NAD milik Pemda “jatuh”; di tengah penjualan saham milik Garuda ke
pihak asing–tanpa deviden apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita
mengenang pesawat Seulawah, karena “kepak-kepak sayap” yang sudah
patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada
“burung besi”; Garuda, turunlah!