7 Tempat Peninggalan Sejarah di Banda Aceh Yang Di Kenal Dunia



Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.
Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh. Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 808 tahun (tahun 2013 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.
Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.
Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi Kaum Wujudiyah menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.
Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah Perang Saudara antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :
Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme.
Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.
dari sisa puing sejarah tersebut setidaknya ada 7 saksi Bisu kehebatan Kota Banda Aceh zaman Dahulu yaitu
Mesjid Raya Baiturrahman




Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya. 

Gunongan


Kalau di India ada Taj Mahal yang menjadi bukti cinta Sultan Shah Jehan untuk istrinya Mumtaz Mahal yang meninggal ketika melahirkan anak ke-14 mereka. Indonesia pun tak kalah loh travelers. Ada salah satu sultan yang begitu jatuh cinta dengan istrinya hingga ia membangun sebuah taman yang indah, yang dikenal dengan nama Gunongan untuk istrinya bersantai.

Kisah ini ada di kota Serambi Mekah, Aceh, yakni cinta antara Sultan Iskandar Muda kepada sang permaisuri, Putri Kamaliah atau yang juga dikenal dengan nama Putroe Phang dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Sejak penaklukan Kerajaan Pahang, sang sultan pun dengan segera memboyong sang putri ke Aceh untuk dijadikan istri. Pembangunan Gunongan ini bahkan lebih dahulu dibandingkan dengan pembangunan Taj Mahal. Jadi kalau ngaku cinta Indonesia mending eksplore dulu deh negeri sendiri baru setelah itu nyebrang ke negeri orang.
gunongan tempo duluDalam ceritanya disebutkan bahwa Putroe Phang atau Putri Pahang merasa rindu dengan tanah kelahirannya setelah tinggal di Aceh.
Untuk menghibur sang permaisuri maka sang sultan yang berkuasa sejak tahun 1607-1636 itu pun mengabulkan permintaan istrinya untuk dibuatkan bangunan yang megah dan indah yang menyerupai bukit-bukit yang ada di tanah Pahang.
Bangunan ini pun disebut dengan Gunongan yang diambil dari Bahasa Aceh yang berarti gunung. Lokasi Gunongan berada di belakang kompleks Kesultanan Darud Donya sehingga kala sang sultan sibuk dengan urusan pemerintahan sang permaisuri bisa menghibur diri di Gunongan sekaligus mengobati kerinduannya akan tanah kelahirannya.
Gunongan ini sendiri terdiri atas tiga tingat dan tingginya mencapai 9,5 meter. Di atas puncaknya terdapat bangunan yang menyerupai bentuk bunga yang sedang mekar. Kabarnya puncak ini merupakan lambang dari ketulusan cinta sang sultan untuk istrinya.
gunongan2Sayangnya kini bangunan Gunongan sudah tak seperti dulu lagi. Selain karena faktor alam, bangunan ini juga rusak karena serangan Belanda pada masa itu.
Di dalam Gunongan dahulunya terdapat taman bernama Taman Ghairah dengan aliran air sungai Darul Asyiqi di dalamnya.
Ada pula kandang yang menjadi makam menantu Sultan Iskandar Muda, yakni Sultan Iskandar Tani. Juga ada tempat jamuan makan siang untuk raja, putri, orang istana, dan juga rakyat. Namun beberapa dari bangunan tersebut kini sudah tidak utuh lagi.
Untuk menjelajah pada masing-masing tingakat Gunongan terdapat tangga yang hanya bisa dilalui untuk satu orang. Sementara pada lorong-lorong bangunan berbentuk oktagonal tersebut dialasi dengan rerumputan. Dinding-dindingnya berbentuk kelopak bunga yang dihiasi dengan bunga pada bagian ujungnya. Dari atas Gunongan ini, travelers bisa menikmati pemandangan keseluruhan area Gunongan. Karenanya wajar jika tempat ini dahulunya menjadi favorit sang putri untuk bersantai.
gunongan1Pintu masuk Gunongan memiliki bentuk seperti jangkar kapal sebagai perlambangan bahwa Sultan Iskandar Muda adalah seorang pelaut yang handal.
Pintu masuk ini dikenal dengan nama Pinto Tangkop yang memiliki bentuk lebih rendah sehingga untuk memasukinya harus menunduk. Hal ini memiliki filosofi tersendiri bahwa sebagai manusia harus memiliki rasa hormat dan merendah.
Tak jauh dari Gunongan, tepatnya di sisi kiri depan, terdapat undakan dengan cekungan di bagian tengahnya. Undakan dengan bentuk meyerupai kelopak bunga ini dihiasi dengan sejumlah ukiran. Di sini pula tempat penobatan sultan dilakukan. Gunongan bisa jadi hanya satu-satunya tempat yang tidak dibabat habis oleh Belanda kala menyerang Kesultanan Aceh Darussalam. Karena kabarnya tempat ini dahulunya digunakan oleh Belanda untuk bersenang-senang.
taman gunonganMengunjungi Gunongan, travelers tidak hanya bisa menyaksikan kesucian cinta sultan namun juga bisa belajar sejarah sekaligus belajar ilmu-ilmu tentang kehidupan, kesetiaan, cinta yang tulus, dan juga kekuasaan serta keserakahan.
Untuk senantiasa menjaga bangunan Gunongan tetap berwarna putih bersih, setiap bulan Juli ada tradisi untuk mengecat bangunan ini sehingga tetap terawat dengan baik sebagaimana cinta Sultan Iskandar yang begitu terawat terhadap permaisurinya, Putri Pahang.



Lonceng Cakra Donya
Lonceng Cakra Donya adalah benda bersejarah yang kini merupakan salah satu koleksi Museum Aceh. Lonceng Cakra Donya yang tergantung di pintu masuk Museum Aceh, merupakan simbol persahabatan antara kerjaaan China dan kerjaan Aceh. Menurut sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh.
Lonceng yang berbentuk stupa buatan China 1409 M dengan lebar 75 cm dan tinggi 125. Di bagian luar lonceng ini terukir hiasan dan tulisan Arab dan China. Cakra yang berarti poros kereta, sedangkan Donya mempunyai arti dunia.
Lonceng ini pernah digunakan dalam kapal perang kesultanan Aceh masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kapal tersebut bernama Cakra Donya, yang mampu menampung 800 prajurit. Cakra Donya ditempatkan pada bagian buritan depan kapal. Lonceng ini dipergunakan untuk memberi aba-aba dalam perang. Karena kagum dengan kekuatan armada perang Aceh, Portugis menyebut kapal Cakra Donya sebagai Espanto Del Mundo yang artinya Teror Dunia.Lonceng yang terkenal di Aceh ini sekarang diletakan di Museum Aceh. Lonceng Cakra Donya ini merupakan benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga saat ini. Lonceng ini juga merupakan simbol dan bukti hubungan bersejarah antara Aceh dan China sejak abad ke-15.

  Kherkoff Peucut
Kerkhoff, Komplek Pemakaman Militer Belanda Terbesar di Luar Belanda

Mengunjungi Aceh berarti mengunjungi salah satu wilayah dengan sejarah panjang di semenanjung Malaka dan peranan penting dalam catatan sejarah sejarah dunia. Perang Aceh yang berlangsung dari 1873 hingga 1904 adalah salah perang dengan biaya terbesar dalam catatan sejarah Kolonialisme.

Mesjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu saksi sejarah aksi tembak runduk/tembak jitu (sniper) generasi awal yang tercatat dalam dokumen sejarah dunia. Jenderal GP Booms dalam buku De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete mencatat bahwa pimpinan ekspedisi Belanda, Mayor Jenderal Johan Harmen Rudulf Kohler tewas di tangan penembak jitu Aceh.
Bukan hanya Mayjen Kohler tentara Belanda yang gugur di Aceh. Tak terlalu jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman, terdapat satu area pemakaman yang bersejarah. Saksi bisu dahsyatnya peperangan di Aceh. Kerkhoff Peucut.



Sekitar 2.200 tentara Belanda, termasuk empat orang jenderal dimakamkan di sini. Kenangan pahit kekalahan Belanda. Mungkin ini setara dengan pahitnya kekalahan Belanda menghadapi Napoleon.
Komplek pemakaman militer Kerkhoff ini adalah komplek pemakaman militer Belanda terbesar kedua di dunia. Tak ada komplek semacam ini milik militer Belanda di tempat lain. Satu-satunya yang lebih besar hanyalah yang terdapat di negeri Belanda.
Tidak sulit untuk menemukan Kerkhoff. Letaknya tepat di samping Museum Tsunami, berdekatan dengan Blang Padang, dan Mesjid Raya Baiturrahman.
Selain nilai sejarahnya, nisan-nisan kuno yang terdapat di Kerkhoff ini juga menjadi daya tarik arsitektur tersendiri. Motif dan disain yang bercorak khas membawa warna eropa di tanah Aceh. Tak hanya itu, hal menarik lainnya kawan, makam-makam itu juga menceritakan kisah penghuninya kepadamu. Jangan kau bayangkan cerita hantu kawan, tapi pada batu nisan makam, ada dituliskan secara singkat kisah hidup mereka yang dimakamkan disitu.
Masih ada satu hal menarik lagi. Terpisah dengan makam lainnya, ada satu makam yang berbeda. Nah, itu adalah makam Meurah Pupok. Ia bukan serdadu atau jenderal belanda. Ini adalah makam putra Sultan Iskandar Muda.

Kerkhoff tidak hanya bercerita hebatnya tentara aceh, tapi kerkhoff juga bercerita betapa adilnya sang raja, Getir cerita makam ini. Meurah Pupok, dihukum mati oleh ayahnya, sang Sultan. Bukan karena benci, namun menegakkan keadilan. Putra sultan ini terbukti melakukan zina dengan istri seorang perwira muda yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh. Meski pedih, tapi Sultan menjunjung keadilan. Hukuman diberikan sesuai aturan yang berlaku. Makam putra Sultan ini adalah simbol penegakan keadilan oleh seorang pemimpin.
Sampai sekarang, komplek Kerkhoff ini masih ramai dikunjungi oleh turis asing, terutama dari belanda, Mungkin Mereka Mengunjungi Uwak atau Kakeknya yang di kubur di Aceh Ya 😀


Benteng Indra Patra
Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar terdapat sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih berdiri kokoh. Sebuah kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan tetap tegar walau (bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini bernama BENTENG INDRA PATRA; berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota propinsi Aceh, Banda Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan bermotor.
  

Benteng  ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya pada abad ke VII Masehi. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu, benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu.
 
Karena alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka benteng ini dibangun di tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
 
Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba. Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), benteng ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi Kerajaan Aceh Darussalam dari serangan musuh yang datang dari arah laut.
 
Saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding mencapai sekitar 2 meter.  Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari “beton kapur” (: susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur).
 
Didalam benteng Utama terdapat dua buah “stupa” atau bangunan yang menyerupai kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur / sumber air bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru dan senjata.
 
Benteng merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita tersendiri. Di belakangnya ada kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan heroism orang-orang di zamannya. Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang terletak di Kecamatan Masjid Raya, jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari Banda Aceh, menuju Pelabuhan Kr Raya.
 
Dari segi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng perlahan-lahan akan dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar benteng pun belum tentu tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.
 
Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik, terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.
  
Survei Benteng Indra Patra bukan saja mencatat fisik bangunan tetapi juga mengumpulkan kisah-kisah sejarah seputar benteng. Tim melakukan studi pustaka dan wawancara dengan masyarakat sekitar untuk menggali cerita-cerita seputar Benteng Indra Patra. "Yang paling menarik dari bangunan sejarah adalah cerita seputar situs tersebut, ini yang paling menarik minat pengunjung" katanya.
 
Benteng Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad ke tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan kerajaan Aceh Darussalam.
 
















 



Rumoh Aceh



Rumah Aceh atau Rumoh Aceh merupakan bentuk tempat kediaman orang Aceh tempo dulu dan sekarang hampir hilang, hanya tersisa di beberapa tempat saja di Aceh. rumah ini telah diabadikan di Banda Aceh ( komplek Kantor Museum Aceh) dan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) serta Rumah Cut Nyak Dhien yang ada di Desa Lampisang, 10 km dari pusat Kota Banda Aceh. Di dalam Rumah Aceh yang terletak di komplek Museum Aceh banyak terdapat barang-barang peninggalan tempo dulu yang sering digunakan oleh orang Aceh diantaranya pedeung on jok, jingki, guci, Berandam atau Tempat menyimpan padi dll. Jika anda ke Banda Aceh jangan lupa untuk datang mengunjungi dan saksikan keadaan rumah Adat Aceh tempo dulu. Rumah Aceh ini terdiri dari 44 tiang dan mempunyai 2 tangga depan dan belakang.
  1. Asal-Usul
Kepercayaan individu atau masyarakat yang hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi, Nanggrou Aceh Darussalam. Pada umumnya Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50 – 3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seramoe likot atau serambi belakang dan seramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumah yang selalu berada di sebelah timur. Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Bagian-bagian dari Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah disebut yubmoh yang dapat dipergunakan untuk menyimpan berbagai macam benda, seperti Jeungki (alat penumbuk padi) berandang (tempat menyimpan padi) dan juga difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak dan juga sering digunakan tempat ayunan anak-anak bayi.

  • Ruangan depan atau disebut dengan seramoe Keu (serambi depan), ruangan ini polos tanpa kamar yang berfunsi sebagai ruang tamu laki-laki, ruang belajar mengaji anak laki-laki pada malam atau siang hari juga tempat tidur tamu laki-laki. dan disaat-saat tertentu seperti upacara perkawinan ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat jamuan makan bersama.
  • Ruangan tengah atau seuramoe teungoh ini bagian inti dari rumoh Aceh dan sedikit lebih tinggi dari seramoe keu ini disebut rumoh inong (rumah induk) dan tempat ini dianggap suci karena bersifat sangat pribadi. Diruangan tengah ini terdapat dua bilik atau kamar yang berhadapan. Kedua kamar ini untuk tempat tidur kepala keluarga atau pemilik rumah, bila ada anak perempuan yang baru kawin maka dia akan menempati kamar ini dan orang tua akan pindah ke anjong.
  • Ruangan Belakang atau disebut dengan seramoe Likoet (serambi belakang), ruangan ini juga polos tanpa kamar yang berfungsi sebagai ruang tamu perempuan,yang luasnya juga sama dengan seramoe keu ruangan ini untuk kaum perempuan juga digunakan untuk ruang belajar mengaji anak perempuan dan bila tamu yang datang perempuan maka tempat musyawarah ataupun tempat tidur para tamu juga tempat makan bersama untuk orang perempuan jadi di Aceh tamu laki-laki dan perempuan tidak disatukan
Bangunan Rumah Aceh untuk memperkuat tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan bahan pengikat dari tali ijok, rotan (awe) untuk pengikat atap yang pada umumnya dari dari rumbia dan ada juga yang menggunakan daun kelapa dan bila didalam rumah idak pernah terasa panas sauna didalam rumah selalu dingin dan bila hujan deraspun tidak pernah kedengaran bising. Rumah Aceh kalaupun tidak menggunakan paku dan terbuat dari kayu namun bisa bertahan hingga ratusan tahun.Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.Wujud dari arsitektur rumah Aceh kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan regiulitas masyarakat Aceh. Arsitek rumah yang menggunakan kayu bahan dasar dan berbentuk panggung merupakan bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya. Secara kolektif struktur rumah panggung memberikan nilai positif terhadap sosial dan kenyaman tersendiri bagi penghuninya, selain itu juga menjamin keamanan dari banjir, binatang dan ketertiban juga keselamatan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
Di dalam Rumah Aceh Selalu ada beberapa motif hiasan yang dipakai antara lain:

  1.   Motif atau ukiran-ukiran keagamaan yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
  1. Motif Flora seperti tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
  1. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Bagi Masyarakat Aceh membangun rumah artinya membangun kehidupan karena untuk membangun harus memenuhi beberapa persyaratan melalui thapan anatara lain harus menunggu pilihan hari baik yang ditentukan oleh Teuku (ulama setempat), harus peusijuk dengan nasi ketan, pengadaan kayu pilihan, kanduri dan lin sebagainya. Musyawarah dengan keluarga dan bergotong royong dalam proses pembangunan merupakan upaya menumbuhkan solidaritas antara sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengn bekerja sama permaslahan dapat diatasi dan keharmonisan tetap terjaga.maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan dan keteraman jamani dan rohani.
Keunikan Rumah Aceh
Keunikan rumah Aceh terletap pada atapnya, untuk pengikat tali hitam atau tali ijuk mempunyai yang untuk penahan atap yang diikat tidak bersambung mempunyai kegunaan yang sangat berati, misalnya saat terjadi musibah kebakaran pada bagian atap maka pemilik rumah hanya memotong satu tali saja sehingga seluruh atap rumah yang terhubung atau terpusat pada tali ijok langsung jatuh atau roboh jadi terhindar dari kebakaran kayu dan dapat meminimalisir dampk dari musibah yang terjadi. Pembanguna rumah Aceh harus menghadap utara dan selatan ini dimaksudkan agar sinar cahaya nmatahari mudah masuk kekamar baik yang berada disisi timur ataupun sisi barat, jika ada rumah Aceh yang menghadap kearah barat atau timur maka akan mudah roboh karena menentang arah angin. Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.Sumber Masyarakat Aceh,pemandu Museum Aceh



Pesawat Seulawah Agam

PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.

Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.

Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh–Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo–dalam format provinsi.

Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat–alasan klasik, karena karismanya–di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.
Seulawah (Indonesian Airways)
Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel–sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan “angker”, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh “preman gampong” sekitar.

Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik–usai shalat dua rakaat–juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan “sayap-sayap Seulawah NAD” untuk “mengepak” kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena “sayap Seulawah” patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.

Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh–Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh–yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. “Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama,” kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.

Dan ternyata proyek Seulawah RI-001–cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang–itu cuma satu yang dapat terbeli. “Satu unit lagi entah di mana rimbanya,” gugat Abu Mansoer agak sesal, pada “cucu”nya itu.

Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.

Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan–maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.

Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.
Garuda Indonesia (Kini)
Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh. Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu.
Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu. Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN “kap igoe”, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.

Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk–mengutip kata-kata Bung Karno–jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada “kakakmu” Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang “melahirkanmu”. Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat repliknya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali; setelah Seulawah NAD milik Pemda “jatuh”; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing–tanpa deviden apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena “kepak-kepak sayap” yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada “burung besi”; Garuda, turunlah!

Demikianlah Refernsi dari saya 7 Tempat Peninggalan Sejarah di Banda Aceh yang di kenal Dunia, Untuk lebih Mengenal dan Memastikan Sejarah dan Bentuknya Silahkan Welcome to Aceh

You Might Also Like

0 comments